“Bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku” - Yesaya 29:13
Saya masih duduk di bangku sekolah menengah ketika pertama kali bertemu dengan doa Daud yang saya nilai sebagai doa yang berbahaya. Pada Rabu malam di gereja Metodis kami, sobat-sobat saya dan saya pergi ke ibadah mingguan kelompok pemuda. Saya masih seusia sekolah menengah pertama ketika beberapa di antara kami berangkat dengan bus menempuh perjalanan ke bumi perkemahan Metodis berjarak sekitar dua jam dari gereja. Pada hari pertama di perkemahan, setelah sesi penyembahan, youth pastor kami membawakan pelajaran tentang doa instrospektif Daud yang meminta Allah untuk menyelidiki hatinya. Di akhir pelajaran, dia mendorong kami untuk mengambil saat teduh pribadi dan mengucapkan doa itu berulang-ulang, sambil mendengarkan apa yang Allah katakan kepada kami sebagai tanggapannya. Saya sungguh-sungguh melakukannya, tapi saya tidak tahu sedikit pun tentang apa yang akan Allah lakukan dalam kehidupan saya.
Saya meninggalkan kerumunan orang banyak dan berjalan di ujung taman bermain di mana pohon-pohon telah ditebang. Aroma udara begitu segar, seperti aroma pinus, saat awan-awan putih berarak di langit biru di atas kepala. Sambil duduk di ujung barisan pepohonan, saya melakukan tugas itu dengan serius. Ini waktunya aku belajar berdoa benar-benar berdoa. Saya tidak melihat siapa pun di dekat situ, jadi saya berseru dengan lantang: "Ya, Allah, selidikilah hatiku.”
Saya ingat pada saat itu, Allah tidak berbicara secara audible bahkan tidak ada tanda-tanda yang muncul di langit sebagai bentuk respon jawaban Allah bagi saya. Saya hanya merasakan kehadiran secara pribadi dan sangat Kudus. Dalam batin, saya hanya merasakan betapa munafilk dan berdosanya saya di hadapan Allah. Apa yang menyebabkan timbulnya pikiran tersebut? Saat itu saya merupakan pemimpin rohani di kaum muda, akan tetapi citra kerohanian yang saya timbulkan penuh kepura-puraan. Hanya pada hari rabu malam di saat pertemuan kaum muda saja saya bersikap seakan akan begitu rohani di hadapan kaum muda yang saya pimpin. Akan tetapi di akhir pekan, saya banyak habiskan waktu berpesta liar dengan rekan rekan saya.
Dan ketika saya menaikkan doa “Selidiki aku” di tengah perkemahan gereja tersebut, saya buta pada satu kenyataan betapa dalamnya saya sudah jatuh dalam dosa. Sampai kemudian Yesaya 29:13 mengingatkan "Bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku." Saya memberi Allah pujian dengan bibir, tapi hati saya benar-benar jahat. Saya mengucapkan perkataan yang tepat, tapi tidak melakukannya. Saya berpura pura menjadi seorang Kristen, padahal saya tidak mengenal Kristus. Menaikkan doa berbahaya ini membuka sarana komunikasi dengan Allah dengan cara yang tidak pernah saya sadari sebelumnya. Alih-alih sekadar meminta Allah untuk melakukan sesuatu bagi saya, saya meminta Dia untuk menyingkapkan sesuatu di dalam saya. Dan pada hari itu Dia menyingkapkan berbagai hal kepada saya yang mengawali perjalanan saya mengenal Allah secara pribadi.
Saya menyadari bahwa semakin dekat saya kepada Yesus, semakin saya harus menghadapi kelemahan-kelemahan saya. Saya berbohong, curang, mencuri melakukan apa yang saya inginkan tanpa peduli siapa yang terluka karena keinginan itu. Apa yang dulunya terlihat normal kemudian terasa keliru. Kehidupan yang saya pikir saya inginkan telah mengarahkan saya menjadi seseorang yang saya sendiri benci. Sayangnya, momen kebenaran bersama Allah ini tidak serta merta mengubah saya. Tapi, momen ini menolong saya untuk menyadari kebutuhan rohani saya. Saya tahu bahwa harus ada sesuatu yang diubah. Dan saya semakin mengerti bahwa sesuatu itu adalah belajar mengasihi dan melayani dengan segenap jiwa raga serta keberadaan saya kepada pribadi yang bernama Yesus.
Pertanyaan: