“Aku hendak menyanyikan kasih setia Tuhan selama-lamanya, hendak memperkenalkan kesetiaan-Mu dengan mulutku turun temurun. Sebab kasih setia-Mu dibangun untuk selama lamanya; kesetiaan-Mu tegak seperti langit.” - Mazmur 89:2-3
Pertimbangkanlah sesaat kebutuhan mutlak kita akan kesetiaan Allah. Kita bergantung kepada kesetiaan-Nya demi keselamatan akhir kita (lihat I Korintus 8:89), demi pembebasan dari pencobaan (lihat 1 Korintus 10:13), demi pengudusan total (lihat I Tesalonika 5:23), demi pengampunan dosa kita (lihat 1 Yohanes 1:9), demi pembebasan pada masa penderitaan (lihat 1 Petrus 4: 19), dan demi penggenapan pengharapan kita akan hidup kekal (lihat Ibrani 10:23). Tidak heran kalau pemazmur, ketika merenungkan kesetiaan Allah, berkata, "Aku . . . hendak memperkenalkan kesetiaan-Mu dengan mulutku turun-temurun. Sebab kasih setia-Mu dibangun untuk selama-lamanya; kesetiaan-Mu tegak seperti langit” (Mazmur 89:2-3). Bahkan Nabi Yeremia, ketika meratapi penghakiman Allah atas Yehuda, masih dapat memaklumkan tentang Allah, "Besar kesetiaan. Mu!" (Ratapan 3:23).
Apakah kesetiaan itu? Bagaimana kita mempraktikannya, dan kapankah kita memperlihatkannya dalam hidup kita? Orang yang setia adalah orang yang dapat diandalkan, terpercaya, loyal, jujur dan beretika dalam segala hubungan. Daniel merupakan pribadi yang jujur, beretika, dan memegang prinsip. kejujuraan mutlak dalam berbicara dan dalam urusan pribadi harus menjadi tanda orang setia. Alkitab menyatakan, "Orang yang dusta bibirnya adalah kekejian bagi Tuhan, tetapi orang yang berlaku setia dikenan-Nya," dan "Neraca serong adalah kekejian bagi Tuhan, tetapi la berkenan akan batu timbangan yang tepat." (Amsal 12:22; 11:1). Tuhan mengejikan dusta dan transaksi bisnis yang tidak jujur. Kita bukan saja diperintahkan agar jangan berdusta; kita juga diperintahkan agar jangan menipu dengan cara apa pun (lihat Imamat 19: 11). Daniel tidak bersalah ataupun lalai: la dapat dipercaya dan diandalkan. Tak diragukan lagi, ia contoh orang yang akan menghadiri janji pertemuan dengan tepat waktu, memegang segala komitmennya, menghormati kata-katanya, dan mempertimbangkan dampak tindakannya kepada orang lain.
Dalam Mazmur 15, Daud mengajukan pertanyaan, "Tuhan, siapa yang boleh menumpang dalam kemah-Mu? Siapa yang boleh diam di gunung-Mu yang kudus?" (ayat l). Lalu menyusullah sedaftar patokan etika yang harus dipegang seseorang kalau mau menikmati persekutuan dengan Allah. Dan di tengah-tengah daftar itu terdapat patokan ini: ia "yang berpegang pada sumpah, walaupun rugi" (ayat 4). Allah ingin kita bisa diandalkan bahkan sekalipun kita harus membayar harga mahal. Inilah yang membedakan kesetiaan yang saleh dari sikap dapat diandalkan yang lazim didapati dalam masyarakat sekular.
Orang yang setia bukan saja jujur dan dapat diandalkan, tetapi juga loyal. Mungkin tidak ada gambaran keloyalan yang melebihi perkataan Salomo, "Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran." (Amsal 17:17). Putra Raja Saul, Yonatan, barangkali menjadi ilustrasi terbaik tentang keloyalan dalam Alkitab. Persahabatannya dengan Daud nyaris menuntut harga nyawanya di tangan ayahnya sendiri. Namun, ada jenis keloyalan yang harus kita hindari, yakni yang disebut "keloyalan buta." Keloyalan jenis ini menolak mengakui kekeliruan atau kesalahan teman, dan sebetulnya merupakan perbuatan merugikan. Kitab Amsal memberitahu kita, "Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah." (Amsal 27:6). Hanya kawan yang betul-betul setia dan cukup peduli kepada Anda yang mau menunjukkan kesalahan kita tugas yang sering tidak mendapat ucapan terima kasih.
Anda tidak dapat menjadi orang setia hanya dengan berusaha. Ada suatu dimensi rohani disini. Yesus berkata kepada jemaat di Smirna, "Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan." (Wahyu 2:10). Kesetiaan adalah sesuatu yang harus kita lakukan sampai akhir kehidupan kita.