“Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.” 1 Korintus 13:5
Paulus memberi tahu kita bahwa kasih itu "tidak pemarah." Istilah yang digunakan oleh sang rasul untuk sifat pemarah (paroxunetal) memiliki sejumlah arti. Kamus standar bahasa Yunani menerjemahkan sebagai "mudah terprovokasi." Alkitab NIV menerjemahkannya: "easily angered" (mudah marah). Charles Hodge mendefinisikan sebagai "quick tempered" (cepat naik darah). Anthony Thiselton memberikan analisis bahasa yang lebih rinci dan menyimpulkan kata tersebut pada kejengkelan sederhana atau langsung pada kemarahan. Pada akhirnya, ia memberikan kata exasperated (mendongkol) sebagai kemungkinan terjemahan terbaik. David Garland memberi kita sesuatu yang sedikit lebih berwarna ketika dia mengatakan bahwa kasih itu tidak "suka membantah.” Kasih itu tidak bersungut-sungut atau menggerutu, kasih itu tidak kesal, kasih itu tidak mengamuk atau mengomel, kasih itu tidak melancarkan pelecehan lisan atau mendiamkan orang lain atau bertabiat buruk, atau melakukan apa pun yang menggoda untuk dilakukan ketika sedang marah.
Agaknya jemaat Korintus bersalah atas beberapa atau semua dosa ini. Jika tidak, mengapa Paulus harus memberi tahu mereka bahwa pemarah adalah dosa karena tidak memiliki kasih? Kita mempunyai pergumulan yang sama. Seperti jemaat Korintus, kita hidup dalam dunia yang dipenuhi dengan orang-orang yang telah jatuh, termasuk orang yang menjengkelkan kita, mengganggu kita, dan membuat kita marah. Dalam pengendalian kemarahan inilah kita perlu bertumbuh. Siapa saja yang bisa marah: semua orang, termasuk orang yang aktif melayani Tuhan. Paulus memberi tahu jemaat Korintus bahwa kasih itu "tidak pemarah,” ia sedang menulis kepada orang percaya yang aktif di gereja lokal mereka.
Para murid mengajarkan kita kapan kemungkinan menjadi marah. Mereka tergoda untuk melakukan dosa ini di penghujung hari yang sibuk setelah perjalanan panjang, ketika mereka lelah dan lapar (Markus 6). Hal ini bisa saja terjadi pada kita semua. Kelemahan fisik menempatkan kita pada bahaya rohani. Jadi jika kita mendapati diri semakin sering marah daripada biasanya, kita mungkin perlu mengambil sebuah langkah kecil namun begitu praktis untuk mencari makanan dan minuman, atau beristirahat sejenak. Jika kita ingin melawan godaan untuk marah, maka kita perlu mengantisipasi kapan kemungkinan kita menjadi lemah secara fisik maupun rohani dan dengan demikian kita secara khusus perlu berdoa dan memohon pertolongan dari Roh Kudus. Saat kita lemah, kita hanya dapat menjadi kuat dengan kuasa Allah.
Pelajaran lain adalah bagaimana sifat pemarah memperlakukan orang lain. Para murid menjadi marah mengenai berapa lama mereka harus menunggu untuk makan malam, mereka ingin Yesus menyuruh semua orang pergi. lni bukanlah satu satunya peristiwa di mana para murid mencoba menyuruh orang-orang menyingkir dari Yesus: Mereka melakukan hal yang sama ketika para ibu membawa anak-anak mereka kepada Yesus untuk diberkati (lihat Luk. 18:15-17). Ketika kita marah, kita ingin menjauh dari orang lain anggota keluarga, tetangga, teman sekelas, rekan kerja kita bahkan jika itu berarti menyingkirkan orang lain dari Yesus juga. Demikianlah sifat pemarah memperlakukan orang lain: dengan menempatkan keinginan kita di atas kebutuhan orang lain, dan jika mungkin, dengan mencoba menghindari kebutuhan mereka sama sekali.
Satu hal lagi yang dapat dipelajari adalah bagaimana sifat pemarah merespons kepada Allah. Sifat pemarah memiliki pandangan negatif mengenai Allah. orang yang menyerah pada kemarahan tidak percaya kepada Allah untuk menyediakan apa yang dibutuhkan. Alih-alih berpaling kepada Allah, kita justru membesar besarkan masalah dan mendongkol kepada Allah. Lewis Smedes mengambil pepatah terkenal dari Augustinus dan memparafrasakannya menjadi seperti ini: "Kami pemarah, oh Tuhan, hingga kami berdamai dengan-Mu." Sifat pemarah berhubungan dengan relasi kita dengan Allah, yang merupakan salah satu alasan utama bahwa hal ini merupakan masalah rohani yang serius. Amarah tidak hanya melukai orang lain saja; amarah juga menghambat hubungan kita dengan Allah.