“Aku akan mengikat perjanjian kekal dengan mereka, bahwa Aku tidak akan membelakangi mereka, melainkan akan berbuat baik kepada mereka; Aku akan menaruh takut kepada-Ku ke dalam hati mereka, supaya mereka jangan menjauh dari pada-Ku” Yeremia 32:40
Tuhan memberitahu orang Israel bahwa suatu hari kelak mereka akan memperoleh sikap yang baru: "Kamu akan kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu” (Yehezkiel 36:26). John Owen menyebut sikap baru ini "kecenderungan hati yang terbiasa kepada kehidupan Allah.” Kata perjanjian baru untuk kesalehan, dalam makna aslinya, mengandung ide tentang sikap pribadi terhadap Allah yang kemudian menghasilkan tindakan-tindakan yang menyenangkan Allah. Sikap pribadi inilah yang kita sebut ketaatan kepada Allah. Tetapi ketaatan ini selalu ketaatan yang bertindak, bukan sekadar perasaan hangat dan emosional tentang Allah. Sikap ketaatan kepada Allah tersusun dari tiga elemen hakiki:
Dari sikap ke arah Allah ini muncullah karakter dan kelakuan yang disebut kesalehan. Begitu sering kita berusaha mengembangkan karakter dan kelakuan Kristen tanpa mengambil waktu untuk mengembangkan ketaatan yang berpusat pada Allah. Kita berusaha menyenangkan Allah tanpa mengambil waktu untuk berjalan bersama-Nya dan mengembangkan hubungan dengan-Nya. Itu mustahil dilakukan. Ketaatan berarti suatu hidup yang diberikan, atau dibaktikan kepada Allah. Sebab itu, orang yang berbakti [saleh] tidak lagi hidup menurut kehendaknya sendiri, atau menurut jalan dan roh dunia, tetapi menurut kehendak Allah saja.
Sekarang jelaslah bahwa hidup yang berpusat pada Allah tidak dapat dikembangkan dan dipelihara terlepas dari dasar kokoh berupa ketaatan kepada Allah. Hubungan erat dengan Tuhan yang hidup sajalah yang dapat mencegah komitmen macam itu tidak menjadi menekan atau legalistik. Yohanes menulis bahwa perintah Allah tidaklah berat (lihat 1 Yohanes 5:3). Hidup saleh tidaklah berat, tetapi fakta itu benar hanya karena orang saleh mula-mula berbakti kepada Allah.
Mari kita pertimbangkan tiga unsur hakiki dari ketaatan: rasa takut kepada Allah, kasih Allah, dan hasrat kepada Allah. Bayangkanlah sebuah segitiga yang menggambarkan ketaatan kepada Allah, dengan ketiga unsur tadi sebagai ketiga sudutnya. Rasa takut kepada Allah dan kasih Allah membentuk dasar segitiga, sedang hasrat kepada Allah berada di puncak. Ketika kita pelajari unsur-unsur ini secara terpisah, kita akan melihat bahwa rasa takut kepada Allah dan kasih Allah membentuk dasar bagi ketaatan sejati kepada Allah, sedang hasrat kepada Allah merupakan ungkapan tertinggi dari ketaatan itu.
Memang benar bahwa konsep rasa takut kepada Allah dibahas lebih luas dalam perjanjian lama, seperti yang tertulis dalam Yeremia 32:40, tetapi kita salah kalau menganggap konsep itu tidak penting dalam perjanjian baru. Paulus dan Petrus sama-sama menggunakan rasa takut kepada Allah sebagai motif untuk hidup kudus dan benar. Teladan Tuhan Yesus sendiri, sebagaimana dikatakan Yesaya, "Kesenangannya ialah takut akan TUHAN” (11:3), kalau Yesus dalam kemanusiaan Nya hidup takut akan Allah, kita perlu berpikir serius untuk mengolah sikap yang sama dalam hidup kita. Frase "takut kepada Allah” bukanlah rasa ngeri yang meresahkan, atau pemuliaan, penghormatan, dan kekaguman. Namun, bagi anak Allah, makna utama takut kepada Allah adalah pemuliaan dan kehormatan, penghormatan dan kekaguman dari hati kita kepada Allah.
Saat ini seharusnya kita mulai memulihkan kekaguman dan penghormatan yang mendalam kepada Allah. Seberapa besar kita menghargai kasih Allah ditentukan oleh seberapa dalam kita takut kepada- Nya. Makin kita melihat Allah dalam keagungan, kekudusan, dan kemuliaan-Nya yang tinggi luhur, makin kita akan menatap dengan rasa kagum dan takjub kepada kasih-Nya yang dicurahkan di Kalvari. Kita semakin memahami kasih Allah kepada kita di dalam Kristus, kalau kita mau memberikan kepada-Nya kemuliaan, kehormatan, dan penghormatan yang layak bagi Nya.